Powered By Blogger

Sabtu, 30 Januari 2010

Kinanti Kawali, Pupuh Warisan Jaman Mataram

Oleh PANDU RADEA

Alus tangkal Kilayugung
Di alun-alun Kawali
Dibalay diunda-unda
Di kikis diadu manis
Hanjuang Bokor ngajajar
Kaselapan kacapiring

Demikian rumpaka pupuh Kinanti yang kini keberadaanya tidak dikenal lagi oleh generasi muda di kecamatan Kawali. Padahal awal abad 19 pupuh ini menjadi hafalan wajib siswa Vervolg school (sekolah Lanjutan Jaman Belanda) yang didirikan di Kawali sekitar tahun 1905. dibalik rumpakanya yang sederhana ternyata pupuh ini, oleh beberapa tetua di Kawali diperkirakan menyimpan gambaran yang berhubungan erat dengan adanya sebuah kraton. Bisa jadi pupuh ini diciptakan untuk menceritakan kembali tentang keadaan kraton Kerajaan Kawali yang situsnya terdapat di Astana Gede di Kampung Banjarwaru Kawali.


Lantas apa yang membedakan pupuh Kinanti Kawali dengan pupuh Kinanti yang dikenal saat ini ? menurut Yaya Ganada Koncara, seniman tembang Ciamis, Kinanti Kawali ini mungkin merupakan satu-satunya kinanti di pasundan yang dianggap pertama kali berlaras mandalung (madenda silung) atau mataraman. Karena pada umumnya pupuh Kinanti berangkat dari laras Salendro, sedangkan dalam tembang sunda khususnya Cianjuran, pupuh kinanti diolah dalam surupan Pelog.
“Tumuwuhna laras matraman di Jawa Barat kirang langkung nembe 20 taunan. sedengkeun Kinanti Kawali cengkokna tos kitu tibaheulana, jigana laras mataraman ieu tumuwuh saprak ajaran Islam nu dicandak ku Cirebon berkembang di wewengkon Kawali. harita budaya Cirebon kapangaruhan pisan ku budaya ti Jawa Tengah, utamina Mataram sareng Demak” Papar Yaya yang sudah melaporkan pupuh ini sebagai bahan kajian ke Pamager Asih Bandung. Pamager Asih merupakan institusi yang bergerak dalam bidang pelestarian tembang sunda.
Seperti halnya pantun, pupuh diatas dari sisi rumpakanya mengandung inskripsi sejarah. Biasanya, letak sebuah keraton tidak jauh dari alun-alun kerajaan. Dan di tengah alun alun selalu ditanam pohon yang memiliki symbol kekuasaan, baik fisik maupun metafisik. Namun yang unik adalah disebutnya Pohon Kilayugung, bukan pohon Waringin. Padahal pohon Waringin merupakan pohon yang lazim ditanam di pusat alun-alun, sehingga adanya istilah Kuta Waringin atau Caringin Kurung sebagai siloka dari filosofis mandala
“Tiasa wae dipelakna tangkal Kilayugung teh leuwih kana makna spiritual pikeun tawis syukuran ka nu maha Agung. Sedengkeun Caringin mah leuwih kana pamor kawibawaan nagara. Margi mun nitenan wasiat Prabu Niskala Wastukancana nu natrat dina prasasti Astana Gede tetela anjeuna ngajarkeun jalan kasalametan atawa karahayuan ” Imbuh Yaya.
Enam bulan yang lalu pohon Kilayugung yang langka dan hanya tinggal satu ini masih ada di seberang Kantor UPTD Dinas Pendidikan Kec. Kawali. Namun kini pohon itu telah musnah ditebang. Selain itu, nama Kilayugung pun dipakai menjadi salah satu nama kampung di Desa Kawali Mukti.



Dulu alun-alun Kawali terasa teduh dan sejuk karena dikelilingi oleh pohon Pinus, setelah ditebang menjadi panas dan gersang. Konon ditempat ini pernah tumbuh pula Tangkal Kilayugung

Demikian pula dengan Hanjuang Bokor, di Kawali hanya terdapat di Kampung Kilayugung saja. Menurut Yaya yang mendapat informasi dari sesepuh baheula yang sudah meninggal, baik pohon Kilayugung dan Hanjuang Bokor ini dibawa oleh seorang putri yang bernama Kentring Manik.
Dalam buku Yuganing Rajakawasa (sejarah Jawa Barat) yang disusun oleh Yoseph Iskandar, Kentring Manik merupakan putri bungsu Prabu Susuktunggal dari kerajaan Sunda. Dan Kentring Manik juga merupakan istri dari Sang Pamanahrasa, putra Dewa Niskala dari Kerajaan Galuh. Susuktunggal dan Dewa Niskala kakak beradik putra Prabu NiskalaWastukancana. Kelak Sang Pamanahrasa terkenal sebagai Prabu Siliwangi setelah berhasil menyatukan Kerajaan Sunda dan Galuh yang akhirnya dikenal sebagai : Kerajaan Pajajaran.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar