Powered By Blogger

Senin, 01 Februari 2010

Prasasti Budaya Sunda

DI era globalisasi saat ini ada kecenderungan bahwa masyarakat lebih menghargai budaya asing dibandingkan dengan budaya "pituin" kita sendiri. Globalisasi memang tidak bisa kita hindari, namun kita dituntut agar pandai memilih dan memilah budaya asing yang masuk, mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk diterima.

Selayaknya juga kita lebih arif untuk sekadar "melirik" kearifan lokal yang terpendam dalam khazanah budaya peninggalan nenek moyang melalui kearifan lokal yang antara lain tercermin dalam prasasti. Tanpa kita sadari, banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun dalam prasasti yang bisa kita gali dan kita ungkapkan di masa kini.

Prasasti yang dalam bahasa asing disebut glory, laudation, direction, atau guidance merupakan pujian, sanjungan, keagungan, petunjuk, pedoman atau doa yang menyatakan suatu permohonan (keinginan untuk kedamaian dalam kerajaan, atau inskripsi dalam bahasa yang indah (berirama). Prasasti merupakan salah satu peninggalan nenek moyang masa lampau yang bisa dijadikan sebagai ciri utama adanya perubahan dalam kehidupan budaya orang Sunda dari kebudayaan prasejarah kepada kebudayaan sejarah.

Prasasti merupakan tulisan di atas batu atau lembaran logam. Tulisannya terdiri atas rangkaian aksara, sedangkan aksara itu sendiri merupakan lambang suara, terutama suara yang dikeluarkan atau yang dipakai dan digunakan oleh manusia. Ahli prasasti biasa disebut epigraf, sedangkan ilmunya disebut epigrafi.



Berikut beberapa prasasti peninggalan di Jawa Barat dan Banten.

Prasasti Geger Hanjuang Galunggung

Yang pertama kali membaca Prasasti Geger Hanjuang di Galunggung adalah Holle yang kemudian mendapat koreksi dari Pleyte. Prasasti tersebut ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Leuwisari Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Prasasti ini kini disimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor koleksi D-26, berukuran tinggi 80 cm dan lebar 60 cm. Isinya ditulis dalam aksara/huruf dan bahasa Sunda buhun yang cukup terang untuk dibaca, dan terdiri atas tiga baris yang bacaannya sebagai berikut:

Tra ba i gunna apuy nasta gomati sakakala rumatak disusu (k) ku batari hyang pun.

"Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk ‘digali’ oleh Batari Hyang."

Di antara prasasti-prasasti yang terdapat di Jawa Barat, prasasti Geger Hanjuang dapat dikatakan "tidak pernah" disebut-sebut dalam pembicaraan sejarah buhun (kuno) Jawa Barat. Penggarapannya masih sangat mentah, karena sebagaimana disebutkan bahwa baru Holle yang mencoba membacanya dengan hasil (menurut Holle sendiri) "kurang memuaskan". Dengan demikian, perlu diadakan penelitian dan penelaahan lebih lanjut serta berkesinambungan dari para ahli dan pemerintah.

Prasasti Batutulis

Prasasti Batutulis ditemukan di Desa Batutulis pada sekitar bekas kabuyutan dekat lokasi keraton. Prasasti ini ditulis dengan huruf dan bahasa Sunda Buhun, terdiri atas delapan baris, yang isinya memberitakan tokoh Sri Baduga Maharaja yang telah berjasa membangun tanda peringatan, mengeraskan jalan dengan batu, dan membuat hutan, telaga Rena Mahawijaya. Beliau adalah penguasa Pakuan Pajajaran yang dinobatkan dengan gelar Prabu guru Dewataprana.

Prasasti Batutulis dibuat pada tahun 1455 Saka (1533) oleh Surawisesa Jaya Prakosa putra Sri Baduga Maharaja sebagai tanda peringatan dalam upacara srada. Nama Sri Baduga Maharaja (1482-1521) terungkap dalam Prasasti Batutulis Bogor. Prasasti ditemukan dan berada di daerah Bogor sampai saat ini. Dikatakan bahwa Sri Baduga Maharaja adalah seorang raja yang bertakhta dan berkuasa di Pakuan Pajajaran (Ratu Haji di Pakuan Pajajaran). Dia bergelar lebih dari satu, bergantung kepada kedudukannya (diwastu), di antaranya: Prebu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja, Sri Sang Ratu Dewata, dan setelah meninggal bergelar Prebu Ratu.

Pada masa Pajajaran, terdapat dua macam prasasti, yaitu piteket dan sakakala. Piteket memuat pengumuman langsung dari raja yang memerintahkan membuat prasasti, sedangkan sakakala dibuat untuk mengabadikan perintah atau jasa seseorang (raja) yang telah wafat. Jika dilihat dari pembukaannya, jelaslah bahwa prasasti Batutulis adalah sakakala. Dari faktor ini saja sudah jelas bahwa pada saat prasasti Batutulis dibuat, Sri Baduga sendiri telah wafat.

Dalam prasasti tersebut disinggung pula pekerjaan serta silsilahnya. Sri Baduga pernah menggali lombang (pertahanan) di Pakuan (nyusuk na Pakwan), membuat tanda peringatan (keagamaan) berbentuk gugunungan, berupa gunung serta jalannya memakai batu (ngabalay), menetapkan hutan larangan (samida), serta membuat telaga suci yang bernama Rena Mahawijaya (nyieun sanghyang talaga Rena Mahawijaya).

Disebutkan pula mengenai keturunannya, bahwa Sri Baduga Maharaja adalah putra Rahiyang Dewa Niskala yang dikubur di Gunatiga (Gunung Tilu), cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dikuburkan di Nusalarang (Pulo yang berada di Situ Panjalu saat ini, sebelah utara Ciamis). Prasasti Batutulis terbuat dari batu. Beraksara Jawa Kuno namun berbahasa Sunda Buhun, yang dibuat pada tahun 1455 ( i saka panca pandawa emban bumi) atau 1533 Masehi. Prasasti tersebut dibuat oleh Prabu Surawisesa (1521-1535), putra Sri Baduga Maharaja yang meneruskan kedudukannya, ketika Beliau mengadakan upacara srada (upacara keagamaan untuk memperingati 12 tahun meninggal ayahnya).

Sri Baduga Maharaja sebenarnya lahir dan dibesarkan di Kawali, pusat kota kerajaan Galuh. Baik ayahnya (Dewa Niskala atau Ningrat Kancana, 1475-1482) atau kakeknya (Prabu Niskala Wastu Kancana, 1371-1475) bertakhta di Kawali, daerah kekuasaan kakeknya yang juga menguasai Kerajaan Sunda pada waktu itu. Ketika tahun 1382 sehari-harinya pemerintahan di Kerajaan Sunda dijalankan oleh Prabu Susuk Tunggal, putra Wastu Kancana dari istrinya yang berasal dari Lampung. Dewa Niskala adalah putra Wastu Kancana dari Mayangsari, putri Galuh, yang pertama kali memerintah menjadi mahamentri (menteri agung) di kerajaan Galuh. Setelah ayahandanya meninggal (1475) Beliau diserahi jabatan dan bertakhta di Galuh. Ketika masih hidup dan berjaya, Sri Baduga Maharaja digelari Jayadewata atau Pamanah Rasa

Karena Prabu Niskala Wastu Kancana pernah ngarempak larangan (melanggar aturan) hampir saja Kerajaan Sunda memerangi Kerajaan Galuh. Akhirnya Sri Baduga menjadi "tumbal" damainya kembali kedua kerajaan tersebut. Awalnya Sri Baduga ditugasi memimpin Kerajaan Galuh, menggantikan ayahnya (1482). Namun karena Sri Baduga menikah dengan putri raja Sunda, putra Prabu Susuktunggal, sebagai tanda mempererat hubungan kedua kerajaan tersebut, akhirnya Beliau dijadikan raja Sunda menggantikan mertuanya. Itulah sebabnya, dalam Prasasti Batutulis disebutkan bahwa Sri Baduga dilantik (diistrenan) dua kali serta mempunyai gelar dua juga. Yang pertama, yakni Guru Dewataprana, ketika dilantik menjadi raja Galuh. Kedua, Sri Baduga Maharaja, ketika dilantik menjadi raja Sunda. Oleh sebab itu, daerah kekuasaannya meliputi dua kerajaan. Meskipun demikian, tetap saja disebut Kerajaan Sunda. Namun, karena Sri Baduga memutuskan untuk tinggal di Pakuan Pajajaran, maka beliau bersama keluarganya pindah dari Kawali ke Pakuan Pajajaran.

Raja Sri Baduga Maharaja atau dikenal dengan sebutan Sang Ratu Jayadewata memerintah dan berkuasa selama 39 tahun (1482-1521). Beliau meninggal dan dikubur di Rancamaya, di sebelah timur-ke arah selatan kota Bogor sekarang. Sayang sekali saat ini kita tidak bisa menyaksikan bekas kerajaan Pakuan Pajajaran tersebut, karena tempat itu saat ini sudah menjadi kompleks perumahan mewah. Namun masih ada secercah harapan agar peninggalan warisan karuhun zaman dahulu tersebut masih terpendam di dalamnya.

Prasasti Kawali

Orang yang pertama kali membaca Prasasti-prasasti Kawali adalah Friederich pada tahun 1853-1855. Hasil bacaannya tersebut kemudian dilanjutkan Holle disertai koreksi dan pembahasan secara lebih luas, bertalian dengan salah satu upaya untuk menjelaskan perihal bahasa yang terdapat pada prasasti-prasasti Kawali dan prasasti Batutulis Bogor.

Bahkan, terbersit berita bahwa perhatian terhadap prasasti di kedua prasasti itu mula-mula dari Friederich. Demikian besar minatnya terhadap pemecahan isi prasasti, sampai-sampai ia membuat prasasti sendiri yang diletakkan di Kebun Raya Bogor. Prasasti-prasasti tersebut terletak di kompleks pemakaman Astana Gede Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis.

Ada enam batu di sana, satu di antaranya tidak berisi tulisan yang oleh juru kunci biasa dinamakan Batu Pangradinan (tempat bersolek) Pangagung Baheula. Satu batu lagi berisi guratan berbentuk kotak-kotak berjumlah 45 buah, dan di luar guratan tersebut terdapat sepasang bekas telapak kaki dan telapak tangan kiri. Batu ini dianggap sebagai kalender abadi yang merupakan sistem penanggalan tradisional bagi masyarakat Sunda dari abad ke-8 Masehi, yang telah berkembang seabad sebelum kerajaan Mataram Kuno.

Dua di antara empat prasasti lainnya berisi tulisan: Sang hyang Linggahyang dan Sanghyang Linggabingba yang mungkin dipancangkan sebagai tanda penghormatan terhadap kedua nama tokoh tersebut. Sementara dua prasasti lainnya berisi wangsit Prabu Raja Wastu bagi para penerusnya. Kedua prasasti tersebut oleh para pakar diberi nomor I dan II. Prasasti Kawali I terdiri atas sepuluh baris, dan jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya pada bagian punggungnya pun masih terdapat tulisan. Prasasti Kawali II terdiri atas tujuh baris. Berikut ini transliterasi kedua prasasti tersebut disajikan berdasarkan bacaan Holle.

Prasasti Kawali I

** Nihan tapa kawali nu siya mulia tapa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisésa nu marigi sakulili (ng) dayeuh najur sagala désa aya ma nu pa(n)deuri pakéna gawé rahayu pakeun jaya dina buana.*

"Yang bertapa di Kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia".

Prasasti Kawali I merupakan Prasasti yang pertama kali ditulis dengan menggunakan aksara Sunda Kaganga dan bahasa Sunda Buhun "kuno". Dalam prasasti tersebut disebut-sebut nama Prabu Wastu yang bertakhta di Kota Kawali di Keraton Surawisesa. Berdasarkan prasasti tersebut, kita tahu bahwa di Tatar Sunda pernah ada seorang raja yang bernama Prabu Wastu. Raja Wastu bertempat tinggal di keraton yang bernama Surawisesa, di pusat kota kerajaan yang bernama Kawali. Prasasti tersebut sebagaimana dijelaskan tadi ditemukan di Kompleks Astana Gede yang terletak di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis sekarang.

Jika kita amati dengan seksama, isi Prasasti Kawali menguraikan wasiat Prabu Niskala Wastu Kancana terhadap anak-anaknya serta keturunannya agar kerajaan Sunda berjaya selama-lamanya. Tampak sekali ada pertalian bathin dari diri dan pribadi Prabu Niskala Wastu Kancana sebagai seorang raja serta ahli bertapa yang sudah menemukan sumber hakikat kehidupan untuk kesejahteraan negara.

Prasasti Kawali 1B dan 2, menguraikan amanat Prabu Niskala Wastu Kancana yang bunyi teksnya sebagai berikut:

Hayua diponah-ponah,
Hayua dicawuh-cawuh.
Inya nékér inya ager
inya ninycak inya rempag.

"Jangan dihalangi, jangan diganggu, yang berusaha memotong niscaya akan jatuh tersungkur, yang berusaha menginjak niscaya akan roboh."

Prasasti Kawali II
Aya ma...nu ngeusi bhagya kawali bari pakéna kereta bener pakeun na(n)jeur na juritan

"Semoga ada yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar unggul dalam perang".

Amanat dari Prabu Niskala Wastu Kancana dalam Prasasti Kawali tersebut berupa larangan serta doa. Jangan berbuat keburukan atau hal-hal yang tidak baik. Niscaya yang melanggar larangan tersebut akan bertemu dengan kesusahan atau akan celaka. Dia berharap agar daerah Kawali terus ada dan ditempati, Dia juga berupaya agar masyarakat yang berada di tempat itu pun diharapkan bahagia, makmur, dan adil. Dengan cara demikian, selamanya akan unggul dalam peperangan. Tatkala di Kerajaan Majapahit ada Perang Paregreg (perang saudara) sekitar tahun 1453-1456 yang mengakibatkan mundurnya kerajaan tersebut, Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu sedang "bertapa dalam keadaan senang hati" karena melihat negaranya dalam keadaan sejahtera, sambil melakukan brata siya puja tan palum (tirakat dan beribadah).

Piagam Kebantenan

Piagam Kebantenan yang dimaksud terdiri atas lima lempeng tembaga yang ditulis dengan aksara dan bahasa Sunda Buhun. Piagam ini diperkirakan sezaman dengan prasasti Batutulis Bogor, yang dibuat atas perintah Sri Baduga Maharaja. Secara garis besar, piagam ini berisi tentang penetapan batas dan pengukuhan status wilayah tertentu di wilayah Pakuan Pajajaran, serta keputusan pembebasan pajak bagi penduduk di daerah yang dikukuhkan tersebut. Sebagai bukti, terjemahan dari lempengan piagam III/IV, tampak berikut ini:

"Semoga selamat. Ini tanda peringatan Rahiyang Wastu Kancana, turun kepada Rahiyang Ningrat Kancana, lalu diamanatkan kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Menitipkan dayeuh di Jayagiri dan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan membebaninya dengan dasa, calagara, kapas timbang, dan paré dongdang. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut pajak (kepada penduduknya) karena mereka itulah yang berbakti dan mengabadikan dirinya kepada ajaran agama. Merekalah yang teguh melaksanakan hukum-hukum dewa."

Dalam Prasasti Kebantenan II disebut-sebut nama Sri Baduga Maharaja beserta gelarnya yang lain, yakni Sri Sang Ratu Dewata, yang berkaitan dengan kejadian ketika Beliau membuat keputusan bahwa Sunda Sembawa akan dibuat daerah suci keagamaan (kabuyutan, dewasasana). Prasasti Kebantenan I pun dibuat oleh Sri Baduga Maharaja sendiri, untuk memperingati (sakakala) kakeknya, yakni Rahyang Niskala Wastu Kancana yang memberi amanat kepada putranya, Hyang Ningrat Kancana, yang diamanatkan lagi kepada Beliau. Dalam amanatnya, Niskala Wastu Kancana menitipkan daerahnya (dayeuhan kabuyutan) Jayagiri dan Sunda Sembawa agar tetap dipelihara serta dijaga dari gangguan bangsa lain. Pakuan Pajajaran merupakan pusat kota Kerajaan Sunda yang terletak di Kota Bogor sekarang. Ketika membuat Prasasti Kebantenan, Sri Baduga Maharaja sudah bertakhta di Kerajaan Sunda serta menempati dan tinggal di Pakuan Pajajaran, mendiami keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Selain itu, sebagai informasi saja ada prasasti yang bernama Prasasti Pasir Muara (Cibubulang) berkaitan dengan kerajaan Sunda, yang menurut Bosch, bunyinya sebagai berikut:

ini sabdakalanda juru panga –
mbat i kawihaji panyca pasagi marsa
ndeca barpapulihkan haji sunda.

"Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam (tahun Saka) 458 bahwa pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda". (Elis Suryani N.S./-Dosen & Mahasiswa S-3 Filologi Unpad)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar